FIKIH LEBARAN (IDUL FITRI)
FIKIH LEBARAN (IDUL FITRI)
1. Pengertian Lebaran Dan Idul Fitri
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), lebaran berarti hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal setelah selesai menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadan. Lebaran adalah sebutan sekaligus untuk Idulfitri dan Iduladha. Lebar-an dalam bahasa Jawa artinya sudah-an/ setelah-an atau sesudahnya/ setelahnya. Lebaran Idulfitri bisa juga disebut dengan lebaran mudik karena ketika itu ada aktivitas mudik, yaitu pulang ke kampung halaman.
Idulfitri berasal dari kata Id (‘ied) dan fitri (f ithri). ‘Ied itu berarti pengulangan karena berulang terus setiap tahunnya atau berulangnya kembali kesenangan. Bentuk plural dari kata ‘ied adalah a’yaad. Dulu ada perayaan-perayaan jahiliah, lalu diganti dengan perayaan Idulfitri dan Iduladha. Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:549.
Fithri itu berarti berbuka puasa. Sehingga Idulfitri adalah hari kembali berbuka, boleh makan dan minum. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bagi orang yang berpuasa akan merasakan dua kebahagiaan: (1) kebahagiaan ketika berbuka dan (2) kebahagiaan ketika berjumpa dengan Allah.” (HR. Muslim, no. 1151).
Ketika berhari raya Idulfitri, muslim yang berpuasa merasakan pula dua kebahagiaan di atas. Karena Idulfitri adalah hari raya di mana kaum muslimin tidak lagi berpuasa atau kembali berbuka. Ini berarti orang yang berpuasa ketika berhari raya merasakan kebahagiaan.
Sedangkan kebahagiaan kedua adalah ketika berjumpa dengan Allah. Maksudnya, kata Ibnu Rajab rahimahullah, orang yang berpuasa akan mendapatkan pahala yang tersimpan di sisi Allah dari amalan puasanya. Ia akan mendapatkan pahala yang lebih baik di sisi Allah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
“Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya.” (QS. Al-Muzammil: 20).
2. Hari Idhul Fitri dan Idhul Adha Menggantikan Perayaan Jahiliyah
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, dahulu orang-orang jahiliah memiliki dua hari pada setiap tahun (yaitu Nairuz dan Mihrajan) yang mana mereka biasa bersenang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke kota Madinah, beliau bersabda,
“Dahulu kalian memiliki dua hari (Nairuz dan Mihrajan) di mana kalian bersenang-senang ketika itu. Sekarang Allah telah menggantikan untuk kalian dengan dua hari besar yang lebih baik yaitu Idulfitri dan Iduladha.” (HR. Abu Daud, no. 1134; An-Nasa’i, no. 1556. Sanad hadits ini sahih menurut Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam, 4:142).
Kalau kita melihat keterangan para ulama, hari Nairuz adalah perayaan awal tahun Syamsiah (kalender matahari). Sedangkan hari Mihrajan adalah perayaan enam bulan setelahnya. Lihat keterangan dalam Minhah Al-‘Allam, 4:142.
3. Keistimewaan Hari Raya Idhul Fitri Dan Idhul Adha Bertemu Dengan Hari Jum'at
Ada beberapa hadits yang menunjukkan istimewanya hari Jumat jika bertemu dengan Idulfitri dan Iduladha, yaitu bisa mencukupkan dengan shalat Id dan tidak shalat Jumat, lalu shalat Jumat diganti dengan shalat Zhuhur.
Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqam,
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua Id (hari Idulfitri atau Iduladha bertemu dengan hari Jumat) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat Id dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jumat”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jumat, maka silakan.” (HR. Abu Daud, no. 1070; An- Nasai, no. 1592; Ibnu Majah, no. 1310. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Dari seorang tabi’in bernama ‘Atha’ bin Abi Rabbah rahimahullah, ia berkata,
“Ibnu Az-Zubair ketika hari Id jatuh pada hari Jumat pernah shalat Id bersama kami pada pagi hari. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jumat Ibnu Az-Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thaif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan perbuatan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan ajaran Nabi (ashobas sunnah).” (HR. Abu Daud, no. 1071. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam dua Id (shalat Idulfitri dan Iduladha) dan dalam shalat Jumat “SABBIHISMA ROBBIKAL A’LA” (surah Al-A’laa) dan
“HAL ATAKA HADITSUL GHOSIYAH” (Al-Ghasyiyah).”
An-Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari Id bertepatan dengan hari Jumat, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat. (HR. Muslim, no. 878).
Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jumat dan telah menghadiri shalat Id, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur sebagaimana dijelaskan pada hadits yang sifatnya umum. Hadits tersebut menjelaskan bahwa bagi yang tidak menghadiri shalat Jumat, maka sebagai gantinya, ia menunaikan shalat Zhuhur (empat rakaat). (Lihat Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’, 8:182-183, pertanyaan kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi’ Al-Ifta’).
4. Indahnya Berlebaran Bersama
Ada perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa dan berhari raya bersama pemerintah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, hari raya Idulfitri ditetapkan tatkala mayoritas kalian berhari raya, dan Iduladha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beriduladha.” (HR. Tirmidzi, no. 697. Hadits ini sahih kata Syaikh Al-Albani).
Imam Tirmidzi ketika menyebutkan hadits ini berkata,
“Para ulama menafsirkan bahwa maksud hadits ini adalah berpuasa dan berhari raya bersama al-jamaah dan mayoritas manusia”. Yang dimaksud Abu ‘Isa At-Tirmidzi adalah berpuasa dengan pemerintah (ulil amri).
Disebutkan dalam Hasyiyah As-Sindi ‘ala Ibnu Majah, “Hadits ini bermakna bahwa perkara penetapan puasa (atau hari raya) bukan urusan individu atau perorangan, tetapi urusan penguasa dan al- jamaah. Wajib bagi setiap orang untuk mengikuti pemerintah mereka. Oleh karenanya, jika ada yang melihat hilal lantas pemerintah menolak persaksiannya, maka tidak bisa pendapatnya dipakai dan wajib baginya mengikuti pemerintah kaum muslimin.”
5. Idhul Fitri Adalah Hari Terlarang Untuk Berpuasa
Disebutkan oleh Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib:
Diharamkan berpuasa pada lima hari: (1, 2) dua hari raya (Idulfitri dan Iduladha) dan (3, 4, 5) hari Tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah).
Dimakruhkan berpuasa pada hari meragukan (yaumusy syakk) kecuali jika berpapasan dengan kebiasaan puasanya atau bersambung dengan hari sebelumnya.
Larangan berpuasa pada hari tersebut berdasarkan hadits berikut.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari puasa pada dua hari yaitu Idulfitri dan Iduladha. (HR. Muslim, no. 1138).
Jika dikatakan dilarang, berarti tidak sah berpuasa pada hari Idulfitri dan Iduladha. Bahkan inilah yang disepakati oleh para ulama (ijmak). Jadi, diharamkan berpuasa pada kedua hari tersebut, yang melakukannya dinilai berdosa. Karena ibadahnya sendiri termasuk maksiat. Contohnya, yang menjalani puasa sunnah atau puasa wajib seperti puasa nazar, maka tidak teranggap puasanya atau nazarnya. Lihat Kifayah Al-Akhyar, hlm. 253.
6. Amalan Di Hari Raya Idhul Fitri
A. Bertakbir Dari Mulai Malam Idhul Fitri
Cara bertakbir (tinjauan madzhab Syafii)
- Hukum takbir pada hari Id adalah sunnah.
- Takbir ini adalah syiar kaum muslimin dengan mengeraskan suara.
- Ada perincian untuk takbir Idulfitri dan Iduladha.
- Ada yang disebut takbir muqayyad, yaitu takbir yang diucapkan selesai shalat.
- Ada juga yang disebut takbir mutlak atau takbir mursal (takbir tidak terikat), yaitu takbir yang diucapkan di rumah, masjid, jalan, saat malam, siang, dan waktu lainnya.
- Takbir mutlak disunnahkan diucapkan pada Idulfitri dan Iduladha. Awal waktu takbir mutlak adalah dari tenggelamnya matahari pada malam Idulfitri, kemudian berakhir saat imam memulai shalat Id. Sedangkan orang yang berhaji, syiarnya adalah membaca talbiyah pada malam Iduladha. Takbir pada malam Iduladha disamakan dengan takbir Idulfitri. Namun, takbir malam Idulfitri lebih ditekankan daripada malam Iduladha.
- Takbir muqayyad (setiap bakda shalat) tidak disunnahkan untuk Idulfitri, menurut pendapat paling kuat dalam madzhab Syafii. Karena hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada yang menerangkan hal ini.
- Takbir muqayyad disunnahkan bakda shalat. Takbir ini terkait Iduladha. Ada ijmak (kata sepakat ulama) dalam hal ini. Takbir muqayyad ini dimulai dari Shubuh hari Arafah hingga Ashar hari Tasyrik terakhir. Ada dalil dari ‘Umar, ‘Ali, dan Ibnu ‘Abbas tentang hal ini.
- Takbir muqayyad disunnahkan diucapkan setelah selesai shalat, baik shalat ada-an (shalat yang dikerjakan pada waktunya), maupun shalat yang luput, baik shalat fardhu maupun nazar, baik shalat sunnah rawatib, mutlak, muqayyad, atau yang memiliki sebab. Karena takbir itu syiar yang terkait dengan waktu.
- Lafaz takbir yang disunnahkan adalah: ALLAHU AKBAR, ALLAHU AKBAR, ALLAHU AKBAR, LAA ILAHA ILLALLAH, WALLAHU AKBAR, ALLAHU AKBAR, WA LILLAHIL HAMD.Imam Syafii rahimahullah berkata jika takbir di atas sudah diucapkan tiga kali, maka ada tambahan: ALLAHU AKBARKABIIRO, WALHAMDU LILLAHI KATSIIRO, WA SUBHAANALLAHI BUKROTAW-WA-ASHIILAA. LAA ILAHA ILLALLAH. WA LAA NA’BUDU ILLAA IYYAH, MUKHLISHIINAA LAHUD DIIN WA LAW KARIHAL KAAFIRUUN. LAA ILAHA ILLALLAH WAHDAH,SHODAQO WA’DAH,WA NASHORO ‘ABDAH, WA HAZAMAL AHZAABA WAHDAH. LAA ILAHAILLALLAH WALLAHU AKBAR. Ada riwayat dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca bacaan tadi saat berada di bukit Shafa.
- Ketika bertakbir disunnahkan mengeraskan suara. Karena jika ia mengeraskan suara, yang tidak bertakbir jadi ikut bertakbir.
B. Shalat Id Boleh Di Masjid Atau Lapangan
Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia menyebutkan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya Idulfitri dan Iduladha menuju tanah lapang.” (HR. Bukhari, no. 956 dan Muslim, no. 889).
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadits Abu Sa’id Al- Khudri di atas adalah dalil bagi yang menganjurkan bahwa shalat Id sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini afdal daripada melakukannya di masjid. Inilah yang dipraktikkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Adapun penduduk Makkah, sejak masa silam, shalat Id mereka selalu dilakukan di Masjidil Haram.”
Adapun manakah yang lebih utama apakah shalat di masjid ataukah di lapangan untuk shalat Id? Ada dua pendapat dalam madzhab Syafii. Pendapat pertama menyatakan bahwa yang lebih utama adalah di lapangan berdasarkan hadits dari Abu Said Al-Khudri.
Pendapat kedua menyatakan bahwa yang afdal adalah di masjid kecuali jika tempat tersebut sempit. Inilah yang jadi pendapat mayoritas ulama Syafiiyah.
Ulama Syafiiyah mengatakan bahwa penduduk Makkah melakukan shalat di masjid karena areanya yang luas. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat di lapangan menunjukkan akan sempitnya masjid beliau kala itu. Jadi kalau masjid itu luas, maka shalat di masjid itu lebih utama.” (Syarh Shahih Muslim, 6:159).
Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily merinci tentang masalah ini:
- Boleh shalat di masjid ataukah di lapangan. Namun, jika masjid masih luas, afdalnya melaksanakan shalat Id di masjid. Karena masjid tentu lebih utama dibanding tempat lainnya.
- Jika ada uzur seperti hujan, dalam keadaan ketakutan, atau dalam keadaan dingin, shalat Id dilaksanakan di masjid.
- Jika tidak ada uzur hujan dan semacamnya, lantas masjid tidak bisa menampung jamaah, afdalnya shalat Id dilakukan di tanah lapang. Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri.
C. Disunnahkan Mandi Sebelum Melaksanakan Shalat Idul Fitri
Mandi ketika itu disunnahkan. Yang menunjukkan anjuran ini adalah atsar dari sahabat Nabi.
Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, seseorang pernah bertanya kepada ‘Ali mengenai mandi. ‘Ali menjawab, “Mandilah setiap hari jika kamu mau.”Orang tadi berkata,“Bukan. Maksudku, manakah mandi yang dianjurkan?” ‘Ali menjawab, “Mandi pada hari Jumat, hari ‘Arafah, Iduladha, dan Idulfitri.” (HR. Al-Baihaqi, 3:278. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih. Lihat Al-Irwa’, 1:177).
Ada riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma sebagai berikut.
Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa para ulama sepakat akan disunnahkannya mandi untuk shalat Id.
Catatan:
Mandi pada hari Id bisa dimulai dari pertengahan malam dan tidak terkait dengan menghadiri shalat Id. Hal ini berbeda dengan mandi Jumat dimulai dari terbit fajar Shubuh dan berlaku bagi yang menghadiri shalat Jumat saja. Lihat Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja’, hlm. 149.
D. Nabi SAW Memiliki Baju Istimewa Di Hari Raya
Ada riwayat yang disebutkan dalam Bulugh Al-Maram no. 533 diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki baju khusus di hari Jumat dan di saat beliau menyambut tamu. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adab Al-Mufrad).
Ada juga riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ‘Umar pernah mengambil jubah berbahan sutra yang dibeli di pasar. Ketika ‘Umar mengambilnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, Ibnu ‘Umar lantas berkata, “Wahai Rasulullah, belilah pakaian seperti ini lantas kenakanlah agar engkau bisa berpenampilan bagus saat Id dan menyambut tamu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata,
“Pakaian seperti ini membuat seseorang tidak mendapatkan bagian di akhirat.” (HR. Bukhari, no. 948)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mempermasalahkan berpenampilan bagus di hari Idulfitri. Yang jadi masalah dalam hadits di atas adalah jenis pakaian yang ‘Umar beli yang terbuat dari sutra.
Ada juga riwayat dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki jubah khusus yang beliau gunakan untuk Idulfitri dan Iduladha, juga untuk digunakan pada hari Jumat.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih- nya, 1765).
Diriwayatkan pula dari Al-Baihaqi dengan sanad yang sahih bahwa Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma biasa memakai pakaian terbaik di hari Id.
Catatan:
Aturan berpenampilan menawan di hari Id berlaku bagi pria. Sedangkan wanita lebih aman baginya untuk tidak menampakkan kecantikannya di hadapan laki-laki lain ketika di luar rumah.
E. Makan Sebelum Shalat Idul Fitri
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat Id pada hari Idulfitri dan sebelumnya beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Iduladha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat Id baru beliau menyantap hasil qurbannya.” (HR. Ahmad, 5:352. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Ibnu Hajar rahimahullah dalam Al-Fath (2: 446), menyatakan bahwa diperintahkan makan sebelum shalat Idulfitri supaya tidak disangka ada tambahan puasa.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar pada hari Idulfitri (ke tempat shalat) sampai beliau makan beberapa kurma terlebih dahulu. Beliau memakannya dengan jumlah yang ganjil.” (HR. Bukhari, no. 953). Kalau tidak mendapati kurma, boleh makan makanan halal lainnya.
F. Melewati Jalan Yang Berbeda Saat Pergi Dan Pulang Shalat Id
Dalam Hadits Disebutkan,
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di hari Id (ingin pergi ke tempat shalat), beliau membedakan jalan antara pergi dan pulang. (HR. Bukhari, no. 986).
Di antara hikmah kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan antara jalan pergi dan pulang adalah agar banyak bagian bumi yang menjadi saksi bagi kita ketika beramal. Allah Ta’ala berfirman,
“Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.” (QS. Al-Zalzalah: 4).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya, “Apakah kalian tahu apa yang diceritakan oleh bumi?”
Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya yang diberitakan oleh bumi adalah ia jadi saksi terhadap semua perbuatan manusia, baik laki-laki maupun perempuan yang telah mereka perbuat di muka bumi. Bumi itu akan berkata, ‘Manusia telah berbuat begini dan begitu, pada hari ini dan hari itu.’ Inilah yang diberitakan oleh bumi.’” (HR. Tirmidzi, no. 2429. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif. Namun, hadits ini memiliki penguat dalam Al-Kabir karya Ath-Thabrani, 4596, sehingga hadits ini dapat dikatakan hasan sebagaimana kesimpulan dari Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy dalam Bahjah An-Nazhirin, 1:439).
7. Hukum Shalat Idul Fitri Dan Idul Adha
Hukum shalat Id adalah sunnah muakkadah. Dalil sunnahnya adalah berdasarkan hadits dari Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia berkata,
“Ada orang yang telah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berasal dari Najd, rambutnya acak-acakan, suaranya menggelegar, dan kami tidak memahami apa yang beliau ucapkan sampai ia mendekat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba ia bertanya tentang Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam itu mengerjakan shalat lima waktu dalam sehari semalam.” Ia berkata lagi, “Apakah ada yang lainnya?” Beliau menjawab, “Tidak ada kecuali yang sunnah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan,“Dan berpuasa Ramadhan”. Ia berkata, “Apakah ada yang lainnya?” Beliau menjawab, “Tidak ada kecuali yang sunnah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kepadanya, “Zakat.” Ia berkata, “Apakah ada yang lainnya?” Beliau menjawab, “Tidak ada kecuali yang sunnah.” Kemudian orang tersebut pergi dan berkata, “Demi Allah, saya tidak akan menambah atau mengurangi dari itu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ia akan beruntung jika ia jujur.” (HR. Bukhari, no. 46, 2678 dan Muslim, no. 11).
Catatan:
- Shalat Id disyariatkan dilakukan secara berjamaah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Shalat Id bagi yang ingin shalat sendirian (munfarid) juga tetap disunnahkan.
- Shalat Id berjamaah itu lebih utama daripada shalat Id sendirian (munfarid). Untuk orang yang berhaji yang berada di Mina, ia tidak disunnahkan melakukan shalat Id berjamaah. Ia disunnahkan melakukannya munfarid, tetapi tidak ada khutbah jika munfarid. Bisa ada khutbah oleh imam musafir dengan mereka.
- Shalat Id juga tetap disyariatkan untuk wanita, musafir, dan anak kecil.
8. Shalat Idul Fitri Bagi Wanita
Wanita itu tetap menghadiri shalat Id, mendengarkan khutbahnya, bertakbir, dan berdoa ketika itu walaupun ia dalam keadaan haidh.
Dari Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami agar mengajak serta keluar melakukan shalat Idulfitri dan Iduladha. Mereka yang diajak adalah para gadis, wanita haidh, dan wanita yang sedang dipingit. Adapun mereka yang sedang haidh tidak ikut shalat, tetapi turut menyaksikan kebaikan, dan menyambut seruan kaum muslimin. Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, di antara kami ada yang tidak memiliki jilbab.” Beliau menjawab, “Hendaklah saudaranya yang memiliki jilbab memberikan jilbab untuknya.” (HR. Bukhari, no. 324 dan Muslim, no. 890).
9. Tidak Ada Adzan Dan Iqamah Ketika Shalat Id
Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Aku pernah melaksanakan shalat Id (Idulfitri dan Iduladha) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada azan maupun iqamah.” (HR. Muslim, no. 887)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat, beliau pun mengerjakan shalat Id tanpa ada azan dan iqamah. Juga ketika itu untuk menyeru jamaah tidak ada ucapan ‘ash-sholaatu jaam’iah’. Yang termasuk ajaran Nabi adalah tidak melakukan hal-hal semacam tadi.” (Zaad Al-Ma’ad, 1:425).
Dalam madzhab Syafii, jamaah dipanggil dengan ‘ash-sholaatu jaam’iah’. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan panggilan untuk shalat kusuf (shalat gerhana). (Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:552).
10. Tidak Ada Shalat Sunnah Qabliyah Dan Ba'diyyah Id
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada hari Iduladha atau Idulfitri, lalu beliau mengerjakan shalat Id dua rakaat, tetapi beliau tidak mengerjakan shalat qabliyah maupun bakdiyah Id.” (HR. Bukhari, no. 964 dan Muslim, no. 884).
“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah ia langsung duduk sampai mengerjakan shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari, no. 444 dan Muslim, no. 714).
11. Waktu Pelaksanaan Shalat Id
Waktu shalat Id adalah antara terbit matahari hingga waktu zawal (bergesernya matahari dari tengah-tengah langit).
Shalat Id itu disunnahkan untuk diakhirkan hingga matahari meninggi setinggi tombak (sekitar 15 menit dari matahari terbit) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membiasakan shalat pada waktu tersebut.
Shalat Idulfitri disunnahkan untuk diundur, sedangkan shalat Iduladha lebih awal dilaksanakan. Karena waktu afdal untuk pengeluaran zakat fitrah adalah sebelum pelaksanaan shalat Idulfitri. Kalau shalat Idulfitri agak diundur, maka bisa menunaikan zakat fitrah saat waktu afdal tersebut. Sedangkan shalat Iduladha lebih awal dilaksanakan agar orang-orang bersegera menyembelih qurban lalu menyantapnya. Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy- Syafi’i, 1:551-552.
12. Tata Cara Shalat Idul Fitri
- Shalat Idulfitri terdiri dari dua rakaat.
- Shalat Idulfitri dimulai dengan niat dan takbiratul ihram (ucapan “Allahu Akbar” di awal).
- Cara melakukan shalat Idulfitri sama dengan melakukan shalat lainnya.
- Setelah takbiratul ihram membaca doa iftitah (istiftah) sebagaimana shalat lainnya.
- Setelah membaca doa iftitah, melakukan takbir tambahan (zawaid) sebanyak tujuh kali pada rakaat pertama (selain takbir untuk takbiratul ihram dan takbir turun rukuk). Sedangkan pada rakaat kedua, melakukan takbir tambahan sebanyak lima kali (selain takbir bangkit dari sujud dan takbir turun rukuk). Takbir tambahan (zawaid) ini hanya sunnah hay’at, sehingga kalau luput tidak mesti diulangi. Jika ada makmum yang masbuk saat takbir zawaid, cukup mengikuti sisa takbir yang ada tanpa qadha’ takbir. Jika imam hanya bertakbir zawaid enam kali di rakaat pertama atau tiga kali di rakaat kedua, imam tetap boleh diikuti, makmum disunnahkan tidak menambah dari takbir yang kurang tadi.
- Setiap kali takbir zawaid disunnahkan mengangkat tangan. Setelah itu disunnahkan di antara dua takbir tambahan meletakkan tangan kanan di depan tangan kiri di bawah dada sebagaimana bersedekap setelah takbiratul ihram.
- Di antara takbir zawaid (tambahan), disunnahkan berhenti sejenak sekadar membaca satu ayat pertengahan. Saat itu bisa membaca takbir atau mengagungkan Allah. Bacaan yang paling bagus di antara takbir zawaid adalah: SUBHANALLAH WAL HAMDU LILLAH WA LAA ILAHA ILLALLAH WALLAHU AKBAR. Bacaan ini disebut al-baqiyaatush shaalihaat (amalan yang kekal) sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Setelah takbir ketujuh pada rakaat pertama dan takbir kelima pada rakaat kedua tidak ada bacaan takbir dan dzikir.
- Setelah takbir zawaid, membaca ta’awudz, lalu membaca surah Al-Fatihah. Setelah surah Al-Fatihah dianjurkan membaca surah Qaf pada rakaat pertama dan Al-Qamar pada rakaat kedua, atau membaca Al-A’laa pada rakaat pertama dan Al-Ghasyiyah pada rakaat kedua.
- Bacaan surah saat shalat Idulfitri dikeraskan (jahar), begitu pula dengan bacaan takbir, sedangkan dzikir- dzikir lainnya dibaca lirih (sirr).
13. Khutbah Idul Fitri
A. Cara Khutbah Idul Fitri
- Khutbah Idulfitri adalah sunnah setelah shalat Id.
- Khutbah Idulfitri ada dua kali khutbah. Rukun dan sunnahnya sama dengan khutbah Jumat.
- Disunnahkan khutbah dengan mimbar, boleh juga berkhutbah dengan duduk.
- Khutbah pertama diawali dengan sembilan kali takbir. Khutbah kedua diawali dengan tujuh kali takbir.
- Rukun khutbah yaitu: (a) memuji Allah, (b) shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, (c) wasiat takwa kepada Allah, (d) membaca satu ayat, dan (e) berdoa.
- Jamaah disunnahkan mendengarkan khutbah. Namun, mendengarkan khutbah Idulfitri bukanlah syarat sahnya shalat Id.
B. Khutbah Idul Fitri Satu Atau Dua Kali Khutbah
Catatan:
Setiap khatib diharapkan mengetahui kondisi shalat Id di tempat masing-masing. Kalau memang kebiasaan khatib di tempatnya adalah dengan satu kali khutbah, maka hendaklah ia praktikkan seperti itu supaya tidak terjadi konflik berkepanjangan.
C. Bagi Yang Datang Terlambat Saat Imam Sedang Khutbah
Dalam kitab Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i (1:556-577), Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily mengatakan, “Jika seseorang telat, lalu ketika itu imam sedang menyampaikan khutbah Id, lalu shalat tersebut dilaksanakan di tanah lapang, ia tidak perlu shalat tahiyat, ia juga tidak melakukan shalat Id dahulu, tetapi langsung mendengarkan khutbah agar tidak luput. Setelah imam selesai berkhutbah, ia barulah melaksanakan shalat Id di lapangan tersebut, di rumahnya, ataukah di tempat lainnya.”
14. Shalat Idul Fitri Di Rumah Dan Khutbahnya
- Hukum shalat Id adalah sunnah muakkad.
- Shalat Id disunnahkan dilakukan berjamaah. Namun, shalat Id berjamaah bukan jadi syarat untuk shalat Id, artinya masih dibolehkan shalat Id sendirian.
- Shalat Id tidak disyaratkan dengan jumlah tertentu, juga shalat Id tidak disyaratkan dilakukan di masjid atau musala.
- Bagi yang shalat Id sendirian, maka tidak perlu memakai khutbah.
- Jika shalat Id dilakukan di rumah secara berjamaah (dengan istri dan anak-anak), disunnahkan untuk berkhutbah.
- Seandainya ada dua atau tiga orang di dalam rumah, masing-masing melakukan shalat Id sendiri-sendiri, maka tetap ada khutbah Id, karena maksud khutbah adalah sebagai nasihat.
- Waktu shalat Id di rumah adalah antara waktu terbit matahari hingga waktu zawal (matahari tergelincir ke barat). Namun, disunnahkan untuk mengundur waktu shalat Id hingga matahari meninggi setinggi tombak (kira-kira 15 menit setelah matahari terbit).
- Tata cara shalat Id di rumah sama seperti shalat Id pada umumnya.